AFTA sebentar lagi akan dijalankan (penjabaran mengenai AFTA tidak akan dituliskan disini), kesepakatan antar negara yang telah ditunggu-tunggu dan akan memberikan catatan sejarah bagi setiap negara anggota ASEAN tak terkecuali Indonesia ini, tinggal menunggu waktu untuk eksekusi. Lalu bagaimana dengan kesiapan pemerintah tiap negara? Apakah pemerintah  Indonesia siap? Tidak. Apakah pemerintah negara-negara anggota ASEAN juga telah siap secara seluruhnya? Juga tidak. Hal inilah menyebabkan penundataan eksekusi AFTA yang seharusnya dimulai awal tahun 2015 diundur hingga akhir tahun. Kesepakatan ini  bahkan oleh pemerintah pelbagai negara pun dianggap tidak ringan.

Terlepas dari kesiapan pemerintah, pertanyaan akan diarahkan kepada diri kita sendiri, apakah mahasiswa kedokteran Indonesia sudah siap? Persoalan mempersiapkan diri menjelang AFTA ini menjadi satu lagi tantangan diantara sederetan panjang pekerjaan rumah membenahi sistem kesehatan negara ini. Ada banyak permasalahan yang kita hadapi, persebaran tenaga kesehatan tidak merata, fasilitas kesehatan terbatas, sistem jaminan kesehatan terus-menerus diperbarui, dan tidak lupa ada kesenjangan angka jumlah penyedia tenaga kesehatan di Indonesia dengan jumlah masayarakat yang dilayani.

Data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan (BPPSDMK) yang diperbarui per 2013 menunjukkan bahwa peningkatan tenaga kesehatan yang ada tidaklah merata dengan jumlah peningkatan perawat adalah paling signifikan yakni dari 169 ribu pada 2010 menjadi 288 ribu hanya dalam 3 tahun. Ada banyak  hal yang mempengaruhi peningkatan tenaga nakes yang belum seimbang ini,  salah satunya yakni jumlah perguruan tingginya. Jika dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran, memang perguruan tinggi maupun sekolah tinggi perawat di Indonesia tergolong cukup banyak.

Pun dalam proses pemenuhan target dari segi kuantitas, segi kualitas sama sekali tidak dapat ditinggalkan karena ini sudah bukan lagi semata-mata mengenai memenuhi jumlah kebutuhan dokter saja tetapi juga menjadikan dokter Indonesia kompeten dan mampu bersaing di kancah Internasional. Persaingan dikancah Internasional (dan persaingan di manapun) selalu memakai hukum rimba “yang kuatlah yang menang”  atau  dalam hal ini disesuaikan menjadi “yang terbaiklah yang menang” (terbaik disini menyertakan berbagai aspek : Kompetensi, network, integritas, dst). Kurikulum kedokteran yang masih belum sesuai standar adalah salah satu hal yang menjadi titik lemah kita karena hal ini akan menyulitkan kita memanfaatkan salah keuntungan dari yang bisa diambil dari AFTA yakni kesempatan pertukaran jasa, atau singkatnya kesempatan kita untuk menjadi dokter di negara-negara ASEAN lainnya.

Disisi lain, negara-negara lain semisal Singapura yang telah jauh lebih baik standar pendidikan kedokterannya akan dengan mudahnya mendapatkan keuntungan akses lapangan kerja ke negara lain termasuk Indonesia. Pun setelah mereka sampai di ibu pertiwi, bertambah satu lagi permasalahan yang harus kita bereskan dan terkait dengan kualitas yakni stigma masyarakat atas kualitas pelayanan dokter di Indonesia. Tidak lagi merupakan berita baru mengenai banyaknya pasien asal Indonesia yang berobat ke negeri tetangga.  Bahkan dalam 2013 disinyalir dana sebesar 300 triliun telah ‘dibawa keluar’ untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dari yang mungkin mereka peroleh di Indonesia.

Ada cara-cara sederhana yang dapat dilakukan oleh masing-masing pribadi, yang apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh akan memberikan suatu manfaat . People power sudah terbukti berhasil dan terlihat eksistensinya di Indonesia dalam pilpres 2014, bukankah ini pertanda bahwa menunggu pemerintah sudah bukan lagi jamannya? Mari bergerak, pemuda!