Ini tahun terakhirku di kampus semester terakhir bahkan, dalam masa pendidikan preklinikku. Hanya sebentar lagi saja dan gedung Grha Wiyata sudah bukan lagi basecamp kami. Kalau rasanya baru kemarin kami mengambil jas lab pertama, kini sudah waktunya mengukur jas koass.

Kampus ini rasanya sudah seperti rumah sendiri dalam tiga tahun terakhir ini. Jam 9 malam di kampus, jam 11 malam di kampus, jam 3 pagi di kampus, jam 5 pagi di kampus, jam berapapun rasanya biasa saja. Tidak ada perasaan asing maupun takut. Kampus ini adalah bagian dari impianku yang jadi kenyataan. Impian seorang anak dari pulau kecil di timur Indonesia sejak masih berseragam putih biru. Anak yang langsung jatuh hati pada Jogja dalam kunjungan pertamanya. Dan jatuh hati berikutnya bagiku setelah sampai di kota ini ialah pada Universitas Gadjah Mada

“Ini dibangun diatas tanah Sultan” begitu kalimat kakak sewaktu menjelaskan mengenai universitas nasional pertama ini. Disitu pertama kali mimpi itu ada, mimpi yang terjaga hingga bertahun-tahun kemudian, mewujud dalam bentuk paling manis yang ia mungkinkan.

Tahun-tahun berada disini berlalu dengan sangat cepat. Ada sejuta pelajaran, sejuta cerita selama ada di kampus ini. Tidak jauh berbeda dengan kebanyakan mahasiswa di manapun, di sinilah tempat kami membangun segalanya. Menuliskan cerita, berusaha mencari jati diri sembari terus bertanya-tanya tentang tujuan hidup yang bahkan lebih dari sekedar abu-abu.

Di sini kami belajar tidak hanya cara melakukan CPR dengan baik tapi juga berteman dan berbagi suka duka. Di sini kami tidak hanya belajar gambaran mikroskopis Squamous Cell Carcinoma dan Pearl Horn-nya, tapi kami juga belajar berorganisasi, bertemu dengan berbagai orang dengan latar belakang dan sifat yang berbeda lalu berusaha menggabungkannya, bekerja bersama.

Di tahun terakhir ini, memulai bulan pertama perkuliahan kampus ini sepertinya ingin meninggalkan sebanyak mungkin cerita, agar aku tak lupa padanya. Dimulai dengan adik-adik kami, angkatan 2014 yang menjalankan masa orientasi mahasiswa baru dan mengukir senyum dengan formasi burung garudanya, cerita beralih kepada kehebohan yang ditimbulkan seorang mahasiswi S2 FH UGM yang menuai kritis pedas terutama dari media sosial dan sempat mencoreng wajah kampus ini (dikarenakan status pelajarnya).

Wanita muda ini konon memotong antrian bensin di salah satu SPBU selama masa kepanikan warga atas pembatasan BBM bersubsisdi. Mungkin saja tidak terima disoraki warga, wanita ini lalu mem-posting keluhannya dalam kata-kata yang kurang santun melalui akun media sosial path miliknya. Postingan itu sayangnya menyebar di media sosial dan bahkan dimuat di surat kabar. Diluar dugaan respon masyarakat Jogja begitu reaktif sehingga ia pun menjadi bulan-bulanan dimana-mana dan akhirnya meminta maaf berselang beberapa hari dari peristiwa ini.

Beruntungnya, setelah insiden ini UGM kembali mendapat kabar baik. Setelah dua tahun gagal meraih juara umum dalam ajang pekan ilmiah nasional (PIMNAS), UGM akhirnya merebut gelar ini lagi dalam PIMNAS ke-27 di UNDIP Semarang, dan memboyong piala Adhikarta Kertawidya kembali ke Yogyakarta. Hal ini sejenak menjadi angin sejuk di antara panasnya kondisi yang disebabkan oleh insiden Path diatas. Memang, apapun yang terjadi padanya, pahit dan manis, kampus kecintaan ini sepertinya memang berniat meninggalkan cerita-cerita yang bisa kukenang dimasa terakhir pendidikan pre-klinikku diantara himpitan ‘mengejar skripsi’ dan melanjutkan pertanyaan, mengenai belajar hidup.